Buaya Muara, Si Perkasa di Pesisir Jakarta

Reading time: 3 menit
buaya muara
Buaya muara (Crocodylus porosus). Foto: greeners.co/Ahmad Baihaqi (Indonesia Wildlife Photography)

Berbicara tentang buaya, yang terlintas diingatan adalah salah satu tradisi dari Suku Betawi, yaitu roti buaya. Suku Betawi percaya bahwa buaya hanya kawin sekali dengan pasangannya karena itu roti ini dipercaya melambangkan kesetiaan dalam perkawinan.

Dalam pandangan tradisional, buaya dianggap bersifat sabar (dalam menunggu mangsa). Selain kesetiaan, buaya juga melambangkan kemapanan. Namun, keberadaan buaya yang merupakan local wisdom atau kearifan lokal khususnya bagi masyarakat Betawi, kini justru dikaitkan dengan kisah-kisah buruk, seperti buaya buntung meminta tumbal berupa nyawa manusia.

Pada tanggal 22 Agustus 2016, teramati satu individu buaya muara (Crocodylus porosus) di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara. Hutan Lindung Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan konservasi alami yang masih tersisa di Ibu Kota dan merupakan hutan mangrove terakhir di Jakarta.

Buaya muara atau saltwater crocodile yang ditemukan di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara diperkirakan masih remaja dam memiliki panjang kurang lebih satu meter. Dinamai buaya muara karena buaya ini hidup di sungai dan di dekat laut (muara). Buaya ini juga dikenal dengan nama buaya air asin, buaya laut, dan nama-nama lokal lainnya.

Buaya muara memiliki ekor yang panjang dan kuat, yang digunakan untuk berenang. Ekor tersebut juga digunakan untuk menyerang mangsa dan mempertahankan dirinya. Warna kulit si perkasa ini cokelat kotor sampai hitam dengan bentuk kepala yang lonjong, sedangkan bentuk moncong bervariasi menurut umur dan ukuran tubuh.

Buaya muara mencapai kedewasaan apabila panjang minimum buaya muara individu betina sudah mencapai 2,2 meter dan 3 meter untuk individu jantan, atau individu betina minimum berumur 10 tahun dan individu jantan berumur 15 tahun.

Buaya muara bereproduksi pada musim hujan, yang berlangsung antara bulan November hingga bulan Maret. Umumnya buaya muara ditemukan memijah di perairan air tawar, dimana individu jantan akan menetapkan serta mempertahankan wilayahnya apabila ada individu jantan lain yang berusaha masuk ke daerah tersebut.

Lama pengeraman telur berkisar antara 78-114 hari dengan rata-rata pengeraman selama 98 hari. Sekali bertelur, individu betina rata-rata menghasilkan 22 butir telur dengan berat rata-rata 104 gram, anakan yang menetas berukuran 310-370 mm dan memiliki warna abu-abu kecokelatan.

Buaya muara memperbanyak keturunannya dengan cara bertelur. Kopulasi dilakukan di dalam air yang didahului perkelahian antara individu betina dengan individu jantan dan hanya berlangsung beberapa menit pada siang hari. Tanda-tanda masa birahi dan terjadinya perkawinan adalah individu jantan selalu membenturkan kepala ke tubuh individu betina. Perkawinan terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi, pada umumnya terjadi antara bulan Februari – Oktober.

Sebelum bertelur, individu betina mempersiapkan tempat untuk bertelur yang letaknya tidak jauh dari tepi-tepi sungai dengan mengumpulkan ranting-ranting dan daun yang telah busuk. Setelah telur diletakkan di dalam sarang yang dibuatnya, buaya tersebut menimbun sarang dengan ranting daun busuk yang bercampur dengan lumpur. Setelah itu, individu betina akan menjaga sarangnya hingga telur-telurnya menetas selama tiga bulan, kemudian membawa anak-anaknya ke dalam sungai.

Di alam, masa hidup buaya muara dapat mencapai 60-80 tahun dengan potensial reproduksi dari umur 25-30 tahun. Kelestarian buaya muara mendapat ancaman dari aktivitas manusia, antara lain perburuan dan konversi habitat. Perburuan merupakan ancaman utama. Kegiatan berburu ini biasanya dilakukan oleh masyarakat.

Buaya muara termasuk satwa yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar. Berdasarkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam, buaya muara dimasukkan ke dalam Apendiks II, yaitu daftar spesies yang tidak segera terancam kepunahan, namun hal ini akan memburuk bila perdagangan terkait buaya terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.

Keberadaan buaya muara di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa yang ingin mengetahui lebih detail mengenai satwa bergigi tajam ini. Selain itu, dapat menarik wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin melakukan destinasi wisata berbasis lingkungan untuk melihat buaya muara di pesisir Jakarta.

buaya muara

Penulis: Ahmad Baihaqi/Indonesia Wildlife Photography

Top