KNTI Pertanyakan Inisiatif Pembiayaan Blue Carbon

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: freeimages.com

Jakarta (Greeners) – Pada akhir tahun 2009, United Nations Environment Programme (UNEP) bersama sindikasi lembaga-lembaga resmi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan dua dokumen yang masing-masing bertajuk “Blue Carbon: The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon” dan “A Blue Carbon Fund: The ocean equivalent of REDD for carbon sequestration in coastal states”.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan setuju dan memiliki kekhawatiran yang sama dengan UNEP dengan sindikasinya yang menyebut ekosistem pesisir dan laut global tengah mengalami kerusakan parah. Di antaranya sepertiga padang lamun di dunia telah hilang, 25 persen lahan gambut dunia lenyap, dan 35 persen kawasan mangrove dunia telah musnah. Bahkan, laporan tersebut juga menyebutkan bahwa tingkat kepunahan organisme dalam ekosistem laut lebih tinggi dari ekosistem lainnya di dunia, yaitu empat kali dibandingkan dengan ekosistem hutan hujan tropis.

Namun, Ketua Umum KNTI Riza Damanik dalam laporannya pada seminar internasional bertajuk “Blue Carbon: Ocean Grabbing in Disguise” yang diselenggarakan oleh World Forum of Fisher People (WFFP) di Paris, Perancis, malah merasa heran. Ia mempertanyakan sikap UNEP yang justru lebih memilih mendorong lahirnya sebuah skema Pembiayaan Karbon Biru atau Blue Carbon Fund (BCF), daripada memperkuat upaya global memotong emisi karbon dan menghukum perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam aktivitas pencemaran laut, penghancuran ekosistem pesisir dan laut, dan pencurian ikan.

“UNEP menjabarkan ada dua komoditas Karbon Biru. Pertama, komoditas perairan laut. Dalam hal ini perairan laut diasumsikan sebagai media strategis yang mampu menyerap karbon (carbon sink) di atmosfer. Kedua, komoditas ekosistem utama pesisir, diantaranya padang lamun dan hutan mangrove. Komodifikasi terhadap komoditas perairan laut dan ekosistem pesisir ke dalam skema offset adalah lompatan berpikir yang dapat membelokkan upaya global mengatasi akar soal krisis ekologis di laut dan pesisir dunia,” tutur Riza seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Rabu (09/12).

Ia menambahkan, inisiatif ini terus didorong UNEP ke Pemerintah Indonesia sejak pertemuan World Ocean Conference di Manado, tahun 2009 lalu, dan 11th Special Session of the Governing Council/ Global Ministerial Environment Forum of UNEP di Bali, tahun 2010 lalu.

Padahal, lanjutnya, sejak abad XVI, nelayan-nelayan di Lamalera, Nusa Tenggara Timur percaya bahwa laut adalah Ibu. Dalam bahasa lokal nelayan di Lamarela, terang Riza, ada semboyan yang terus menjadi pegangan, yaitu “Ina soro budi, budi noro apadike. Pai pana ponu, te hama hama.” Laut adalah ibu yang membesarkan dan mengasihi. Karena itu, jaga dan peliharalah kelestariannya.

“Laut adalah Ibu, dan Karbon Biru justru meminta kita menjual Ibu. Karena ‘hijau’ sudah menjadi siasat dagang di darat dan gagal, maka sekarang dikemas dengan judul baru ‘Blue Carbon Fund‘ di laut,” tambahnya.

Riza menyatakan para nelayan kecil seyogyanya dapat menjadi solusi mengatasi perubahan iklim. “Tak ada salahnya para pemimpin di dunia belajar dari nelayan-nelayan kecil cara menjaga lingkungan dan kelestarian sumberdaya ikan,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top