Energi Bukan (Hanya) Minyak

Reading time: 6 menit

Kurangi Subsidi Minyak?
Tapi berhemat bukan pangkal kaya energi.  Cadangan energi fosil akan tetap terus berkurang. Sementara dunia modern terus meraung minta energi, pemerintah-pemerintah semakin pula mengucurkan subsidi minyak. Kalau ditotal, tak kurang US $ 1 triliun mengucur untuk subsidi minyak di seluruh dunia setiap tahun.

Untuk Indonesia sendiri subsidi energi fosil pada 2011 sudah mencapai Rp 134 triliun. Apesnya banyak pakar atau pengamat protes dana subsidi sebesar itu justru lebih dinikmati kalangan menengah atas.

Organisasi non pemerintah Gobal Studies Initiative menghitung-hitung subsidi memang banyak mengalir ke industri. Terhitung subsidi nongol untuk mengadakan perjanjian kerjasama pertama dengan sang investor minyak, penelitian dan pengembangan,melancarkan dukungan keuangan bank ke industri, izin akses menambang di wilayah perhutanan, akses menambang di wilayah kontrak minyak yang telah berakhir sebelumnya hingga ke pembagian royalti serta saham. Subsidi minyak justru tak mengalir untuk pemulihan lahan yang habis dikeruk. Sekalipun yang satu ini  berdampak langsung ke masyarakat akar rumput di sekitar wilayah tambang.

Jadilah subsidi BBM buah simalakama. Jika tak dikucurkan, harga terimbas naik dan yang kena tetap masyarakat akar rumput. Jika dikucurkan, industri berlaba besar pun turut menikmati subsidi Pemerintah Indonesia yang berkantong kempes.

Namun uniknya subsidi minyak bagai koin bermata dua. Ada yang sayang. Ada yang benci. KIARA*, organisasi non pemerintah yang mengurusi nelayan kawasan pesisir, menentang pencabutan subsidi minyak. Alasannya, harga bensin dan solar di pelosok Indonesia gemar naik turun bagai gelombang laut. Sekalipun ada subsidi. Mereka khawatir pencabutan subsidi hanya akan semakin menempelak rakyat.

April 2012 KIARA mendata rumor kenaikan BBM saja sudah sanggup menyebabkan harga solar di pesisir pantai Indonesia menjadi Rp 6000-Rp 7000 per liter. Itu harga di tingkat pengecer. Sementara para nelayan juga tak bisa beli langsung ke pom bensin resmi karena larangan melayani konsumen yang hanya bawa jerigen.  Terpaksalah para nelayan harus merugi bahkan sebelum harga BBM benar-benar naik.

Sementara organisasi non pemerintah, 350.org, bersikap lain. Sejak awal 2012 mereka justru mengusung kampanye menuntut pemerintah-pemerintah dunia mencabut subsidi minyak fosil untuk mengalirkannya sebagai subsidi energi hijau. Di panggung dunia G20 dan Rio 20+, organisasi tersebut menggelar kampanye mendesak para pemimpin dunia sepakat memasang tenggat waktu mencabut subsidi energi fosil mereka. Para pemimpin yang mengangguk sepakat , semakin digadang menentukan tenggat waktu yang pasti. Tak peduli jika harga barang melonjak akibatnya?

“Ingat, energi itu bukan hanya minyak,” kata Rully Prayoga, Koordinator Lapangan 350.org untuk Asia Tenggara. Menurut dia, untuk Indonesia lonjakan harga akibat pencabutan subsidi BBM dapat diredam jika energi terbarukan  mampu didukung menggantikan pemakaian bensin dan solar. Terutama untuk transportasi dan konsumsi rumah tangga. Bukan mustahil tentunya jika nelayan Indonesia berlayar berperahu tenaga surya. Juga jika desa terpencil di Papua terang benderang oleh listrik bertenaga air mikro. Kalau sudah demikian, harga BBM bukan lagi masalah besar.

Top