Korporasi HTI Harus Lebih Bertanggung Jawab atas Konsesinya

Reading time: 3 menit
korporasi hti
Ilustrasi. Foto: pixabay

Jakarta (Greeners) – Lebih dari tiga dekade, Hutan Tanaman Industri (HTI) atau lebih tepat disebut kebun kayu telah menjalankan praktik bisnisnya di Indonesia. Alih-alih didorong sebagai bagian dari “mengatasi” pembalakan liar yang masif di era orde baru, lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai kebun kayu justru pada akhirnya menjadi predator bagi hutan alam dan kawasan ekosistem esensial lainnya, seperti ekosistem rawa gambut.

Berdasarkan data yang dimiliki Walhi, lebih dari 10 juta hektar dikuasai oleh korporasi, dan dua raksasa besar diantaranya adalah Asia Pulp and Paper (APP)-Sinar Mas Group dan APRIL. Direktur Walhi Riau Riko Kurniawan mengatakan, penguasaan tanah oleh APP saat ini mencapai 2,6 juta hektar di lima provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dari kelima provinsi tersebut, sebagian besar perusahaan APP berada di provinsi Riau.

“Luasnya penguasaan mereka (APP) tidak dibarengi dengan tanggung jawab terhadap konsesinya. Ini dapat dilihat dari realisasi penanaman perusahaan HTI dari tahun 2011 hingga 2015, hanya mampu seluas 2.115.924,27 hektar atau 45,97% dari rencana tanam, hingga mereka terus menyasar hutan alam,” ujar Riko dalam konferensi pers bertajuk Selembar Kertas dan Jejak Kejahatan Korporasi, Jakarta, Senin (12/02/2018).

BACA JUGA: KLHK Dorong Perusahaan Perkebunan di Lahan Gambut Menata Pengelolaan Air

Industri pulp and paper seharusnya memiliki tanggung jawab secara sosial dan lingkungan, seperti komitmen APP-Sinar Mas Group lewat kebijakan konservasi hutan atau forest conservation policy (FCP). FCP ini merupakan komitmen untuk tidak menggunakan bahan baku yang berasal dari hutan alam, melindungi area gambut, memberdayakan masyarakat lokal, dan memastikan para pemasoknya mematuhi seluruh komitmen yang ada dalam FCP.

“Hingga 5 tahun komitmen FCP dijalankan, konflik di Jambi misalnya, tidak mampu diselesaikan oleh APP. Lalu bagaimana APP bisa mengatakan bahwa mereka mampu selesaikan konflik, jika bukan hanya sekadar klaim untuk menangguk profit lebih besar lagi,” ujar Direktur WALHI Jambi Rudiansyah.

Menurut Rudiansyah, komitmen FCP tidak lebih hanya bagian dari pencitraan sebuah industri yang mendapatkan banyak sorotan dari masyarakat global, dengan berbagai fakta kejahatan yang dilakukan. Rudi menyontohkan kasus tewasnya pemuda tani Tebo Jambi bernama Indra Pelani di konsesi PT WKS yang menunjukkan wajah militeristik industri kebun kayu ini.

Atas kondisi ini, Walhi mendesak pemerintah untuk memutus rantai impunitas terhadap bisnis yang melakukan kejahatan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan mengkaji ulang perizinan di sektor kebun kayu.

“Demi kepentingan penyelamatan hutan alam dan terlindunginya wilayah kelola rakyat, moratorium berbasis capaian untuk minimal 25 tahun menjadi urgensi yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, dengan tujuan membenahi carut marutnya tata kelola hutan dan sumber daya alam di Indonesia,” kata Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi.

BACA JUGA: Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Belum Maksimal

Dihubungi terpisah, Communications Manager dari Forest Stewardship Council Indonesia (FSC Indonesia), Indra Setia Dewi, menjelaskan, manajemen pengelolaan hutan yang baik dan bertanggung jawab adalah pengelolaan hutan yang dilakukan bermanfaat untuk masyarakat sekitar dan juga bermanfaat ekonomis bagi perusahaan. Namun, harus dipastikan bahwa pengelolaan ini tidak boleh menyebabkan bencana dan kerusakan ekologis yang berdampak jangka panjang.

Indra menyatakan, FSC sendiri sebagai organisasi internasional non-profit yang mendorong pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, telah menyusun 10 prinsip pengelolaan hutan yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan tersebut. Sepuluh prinsip tersebut yaitu memenuhi aturan yang berlaku baik global, nasional, dan lokal; memiliki hak pengelolaan yang sah dan legal; menghargai hak tradisional atau adat; menghargai kemapanan dalam masyarakat dan pemenuhan hak dasar pekerja; menjaga sumberdaya alam agar bermanfaat secara berkelanjutan.

Mengelola dan mengurangi dampak ekologis; membuat dan melaksanakan rencana pengelolaan; monitoring rutin terhadap dampak pengelolaan baik terhadap tumbuhan, satwa, tanah, dan air; pemeliharaan hutan dengan nilai konservasi tinggi; mengelola hutan tanaman dengan tujuan utama mengurangi tekanan terhadap hutan alam.

Penulis: Dewi Purningsih

Top