Kasus Perburuan Gading, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Perlu Direvisi

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Hasil putusan Majelis Hakim Pengadilan Bengkalis pada tanggal 9 Juli 2015 terhadap kasus perburuan gading gajah sekali lagi menunjukkan lemahnya jerat hukum terhadap kejahatan satwa yang dilindungi di Indonesia. Dalam kasus tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan rata-rata satu tahun penjara dengan denda sebesar Rp 3.000.000 bagi para pelaku pemburu gading.

Tujuh terdakwa yang dijatuhi hukuman tersebut ditangkap oleh Kepolisian Daerah Riau pada 10 Februari lalu bersama barang bukti berupa satu pasang gading dengan berat total 40 kilogram dan panjang 180 sentimeter di wilayah Kota Pekanbaru. Pelaku dan jaringannya ini juga mengaku telah melakukan pembunuhan gajah di beberapa lokasi lain termasuk di sekitar kawasan Tesso Nilo, Riau, dan sekitar Bukit Tigapuluh, Jambi.

Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF-Indonesia, Nyoman Iswarayoga menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 40 ayat 2, dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100.000.000. Dua terdakwa juga didakwa berlapis dengan Undang- Undang Darurat Nomor 12/DRT/1951 tentang kepemilikan senjata api.

“Hukuman yang dikenakan kepada pemburu gading gajah ini menambah daftar kasus dengan vonis ringan kepada para pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi,” jelas Nyoman saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Kamis (23/07).

Menurut Nyoman, revisi UU No. 5/1990 harus benar-benar menjadi prioritas dalam pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk direvisi di tahun 2016, sehingga masa hukuman dan denda untuk kejahatan seperti ini bisa diperhitungkan kembali untuk membuat efek jera.

WWF, kata Nyoman, bersama dengan Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi (Pokja Konservasi) mendorong agar revisi UU No. 5/1990 adalah salah satu yang menjadi pembahasan dalam Prolegnas tahun 2016. Salah satunya karena ancaman hukuman dalam UU ini menjadi titik lemah tak berkurangnya kasus perdagangan satwa yang dilindungi maupun kematian satwa karena perburuan.

Sementara itu, Wishnu Sukmantoro, Program Manager WWF Sumatera Tengah dalam keterangan resminya menyatakan bahwa dengan upaya penegakan hukum baik melalui pengawasan yang lebih intensif maupun hukuman yang setimpal bagi pembunuh gajah, maka angka kematian gajah di Riau dapat ditekan.

“Ini butuh kerja sama para pihak, pemerintah, Kepolisian, perusahaan pemilik ijin konsesi dan masyarakat, mengingat ini biasanya merupakan bagian dari kejahatan lingkungan yang terorganisir. Selain itu, WWF berharap kejahatan terhadap satwa dilindungi dapat selalu ditangani oleh hakim yang telah mendapat sertifikasi hakim lingkungan,” tambahnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Tachrir Fathoni mengatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri telah menargetkan perampungan dan pematangan konsep untuk revisi UU No. 5/1990 di lingkup Kementerian pada akhir tahun 2015.

“Kami masih berkordinasi dengan berbagai pihak, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan nanti akan kami bawa ke Ibu Menteri agar semuanya itu matang sampai ke anggota dewan ya,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top