Penegakan Hukum Jadi Ujung Tombak Pemberantasan Korupsi di Sektor Kehutanan

Reading time: 3 menit

Banda Aceh (Greeners) – Korupsi tidak hanya terjadi di partai politik, ekonomi dan di sektor penegakan hukum, tetapi juga terjadi di sektor kehutanan.  Tidak terkecuali di Nanggroe Aceh Darussalam. Maraknya praktik-praktik korupsi dan pencucian uang di sektor kehutanan yang mulai merambah ke Serambi Mekkah telah menuai kekhawatiran dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penegakan hukum yang maksimal, didukung undang-undang kehutanan, undang-undang anti pencucian uang dan perundang-undangan pemberantasan korupsi perlu didorong untuk menyelamatkan kawasan hutan Aceh.

Demikian poin-poin penting yang muncul dalam Diskusi Publik dengan tema “Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Tata Kelola Hutan Yang Berkelanjutan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam” yang diadakan oleh konsorsium SIAP II bekerja sama dengan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam di Hotel Hermes, Banda Aceh, Kamis (4/7).

Dalam diskusi yang dihadiri berbagai elemen masyarakat sipil dan pemerintah itu, ditegaskan bahwa mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik, benar dan “bersih” menjadi tuntutan untuk menjaga agar hutan dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan tidak dikorbankan untuk kepentingan sesaat.

“Pola korupsi terjadi di semua lini manajemen kehutanan. Suap menjadi modus yang paling umum terjadi di sektor kehutanan, mulai dari rantai regulasi, rantai perizinan, produksi kayu, penegakan hukum hingga penerimaan negara dari hasil hutan,” Menurut Sekjen Transparansi Internasional Indonesia, Dadang Trisasongko.

Sementara itu, Mas Achmad Santosa dari Satgas REDD/UKP4 mengatakan persoalan penegakan hukum terkait kehutanan harus dimulai dari penguatan penegakan hukum administrasi dengan pengawasan penaatan sebagai ‘tulang punggungnya. “Artinya lini birokrasi (pada pemerintah dan Pemda) yang akan berfungsi sebagai pengawas sangat mendesak untuk dibenahi dari mulai keberadaan SDM pengawas yg profesional dan berintegritas, kemampuan mendeteksi pelanggaran, serta kemampuan menjatuhkan sanksi yang mampu menghentikan pelanggaran dan menimbulkan efek jera,” katanya.

Mas Achmad Santosa juga mengatakan bahwa pendayagunaan hukum pidana sangat diperlukan apalagi kalau pelanggaran hukum telah menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk terhadap ekosistem. Persoalan pendayagunaan hukum pidana untuk kejahatanan kehutanan saat ini menghadapi berbagai masalah antara lainsistem peradilan pidana masih belum sepenuhnya mandiri dan bebas dari korupsi; koordinasi antar aparat gakum masih harus ditingkatkan; pendekatan penegakan hukum cenderung masih konvensional yaitu penggunaan rezim hukum tunggal seperti UU Kehutanan atau UU Perkebunan atau UU PPLH saja.

Pendekatan multi door, yakni pendekatan penegak hukum dalam menangani kejahatan terkait dengansumber daya alam dengan mendayagunakan berbagai rezim hukum, perlu lebih banyak disosialisasikan. Artinya perlu diupayakan semaksimal mungkin penggunaan multi rezim hukum seperti UU Pajak dan UU TPPU, UU Anti Korupsi disamping UUPPLH, Kehutanan, perkebunan atau Tata Ruang.”

Dalam dua dasawarsa terakhir , kawasan hutan alam di Pulau Sumatera telah berkurang hampir 50 persen. “Hutan alam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terutama hutan dataran rendahnya, merupakan benteng terakhir keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera dan merupakan satu-satunya tempat di mana empat satwa kunci Sumatera yaitu harimau, badak, orangutan dan gajah Sumatera berada, oleh karena itu perlu langkah bersama seluruh elemen untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan hutan di Aceh dan Sumatera pada umumnya” ujar CEO WWF-Indonesia, Dr. Efransjah.

Efransjah juga mengatakan bahwa tanpa adanya pengelolaan kehutanan yang transparan dan akuntabel, dikhawatirkan hutan Aceh akan bernasib sama dengan hutan-hutan lain di Sumatera.

Dadang Trisasongko menambahkan ada beberapa rekomendasi yang penting dilakukan oleh pemerintah Aceh dalam tata-kelola  sumber daya alam yang lestari yaitu, meningkatkan kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa birokrasi pemerintah siap melaksanakan UU Keterbukaan Informasi Publik, khususnya terkait manajemen kehutanan; mengoptimalkan penanganan perkara dengan pendekatan multi-door untuk kasus-kasus terkait Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup (SDA-LH); serta membuat paktaintegritas yang telah disepakati pemerintah daerah sebelumnya bisa dilaksanakan di tingkat kabupaten.”

Konsorsium SIAP II adalah kerja bersama antara WWF-Indonesia, Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF), dan Transparency International Indonesia yang bertujuan mendorong peran serta masyarakat sipil dalam mengawasi praktek-praktek kejahatan kehutanandan membangun tata kelola kehutanan yang lebih baik, serta mendorong peningkatan peliputan media tentang kasus kejahatan kehutanan dan korupsi di sektor kehutanan. Konsorsium SIAP II bekerja di 4 provinsi yaitu Nanggroe  Aceh Darussalam, Riau, Jambi dan Lampung. (G03)

Top