Renegosiasi Kontrak, Freeport Diminta Segera Membuat Smelter

Reading time: < 1 menit

Jakarta (Greeners) – Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengamanatkan untuk tidak boleh mengekspor mineral mentah tanpa pengolahan. Mineral mentah harus diolah sebelum terlebih dahulu di pabrik pemurnian atau smelter untuk meningkatkan nilai tambah mineral tersebut.

Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dan Newmont. Kondisi ini baru akan diwujudkan setelah renegosiasi antara pemerintah dengan perusahaan-perusahaan tersebut mencapai kesepakatan.

“Kontrak mereka (perusahaan tambang, Red.) akan habis tahun 2021. Di dalam aturan, dua tahun sebelum masa kontraknya habis, mereka punya hak untuk mengajukan kembali, artinya kan nanti tahun 2019. Jadi jelas pemerintah yang sekarang tidak punya hak untuk melakukan perpanjangan,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, saat ditemui usai Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (10/6).

Menurut Jero Wacik, dalam renegosiasi, kedua pihak harus melalui pendekatan yang baik terutama untuk pembuatan smelter. “Tadinya mereka tidak mau. Kalau enggak mau deadlock dia. Nah, setelah renegosiasi mereka mau,” ujar Jero. Ia juga menambahkan bahwa perlu ada jaminan yang diberikan dari perusahaan tambang tersebut untuk memastikan mereka serius untuk membuat smelter.

Uang jaminan yang disiapkan Freeport sebesar USD 115 juta sedangkan Newmont sebesar USD 25 juta. “Kita buat dulu perjanjian kontraknya oleh Kementrian Keuangan. Semua ada prosesnya, tapi semua itu sudah mulai disepakati. Kalau nanti sudah buat smelter dan setor jaminan, maka akan diizinkan proses ekspor mineral yang sudah diolah” katanya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Abetnego Tarigan yang dihubungi melalui telepon pada Rabu (11/06), menyayangkan terjadinya renegosiasi kontrak antara pemerintah pusat dengan Freeport dan Newmont hanya dilihat dari uang jaminan dan pembuatan smelter.

“Ini akan menyebabkan eksploitasi tambang lebih besar lagi. Permasalahan tambang seharusnya dilihat dari hulu sampai hilir dan masalah lingkungan juga harus dilihat secara penuh,” kata Abetnego.

(G30)

Top